Sunday, August 5, 2018

captivatedecapatitatesilence

Captivating and Decapatitating Beauty of Silence.


We often found ourselves lost in the middle of conversations. In the middle of noises and energy-draining talks that take place around us. In the middle of sounds, which we can't handle.


To be full, we need to be empty. Admit it that you can't handle everything. You can't handle everyone. You can't (and you don't need anyway) to please everyone. When you tried to please everyone, eventually everyone just pull out and throw their trash to you (which is the reason why I stopped being nice to everyone and just treat them the way they treat me). The world don't works like this; the lion wouldn't eat you simply because you don't eat them.

Empty yourselves. Throw away their trash. We've been told to being in the present moment but sometimes present were just too toxic that we need to cut it off. Being in the present moment doesn't mean you need to open yourself for everything. Be yourself while actually enjoy little talks and appreciate life. That's what it means to be present.

We also somehow believed that sounds was something powerful. It is, actually. But too much sound? We called them noises. Sound was much more of a symbol nowadays. I would like to restate one line from Christine Sun Kim's Tedx Talk.
"Sound is like money, power, control, social currency."
Ada stereotip dalam masyarakat kita bahwa orang-orang yang bersuara dengan volume tinggi dianggap lebih baik daripada yang volumenya rendah, orang-orang dengan suara cempreng cendrung ditertawakan.

Orang-orang ingin mereka tidak dilupakan oleh sejarah, mereka menciptakan suara-suara dengan alasan "yang penting aku tidak dilupakan dan hilang". Itulah kenapa aku menyukai orang-orang yang selalu mempunyai me time dalam hidup mereka. Waktu untuk menyendiri dan merenung, berkontemplasi dan hanya diam menikmati jalanan. Itulah kenapa aku menyukaimu.

Tapi bagaimana jika kita menghapus semua suara di dunia?

Maka kita telah menghapus social currency dan batas-batas yang menjaraki antar satu sama lain di antara kita. Kita telah menghapus adanya ekspektasi kita dari opini orang-orang yang (menurut kita) posisinya lebih tinggi daripada kita, lebih disegani daripada kita, lebih ditakuti daripada kita.

That's what I learned from my visit to cafe which created to more appreciate deaf people and community.

Ada keramaian yang tanpa suara di sana, keramaian yang bising dan berisi percakapan-percakapan yang tak biasa kita dengarkan. Kita seolah menjadi warga negara asing dalam sebuah negara yang tak kita ketahui, persis seperti apa yang mereka rasakan, buta terhadap suara.

Bahasa Isyarat menjadi apa yang menjembatani dunia kita sehari-hari, ada gap, ada celah yang cukup dalam yang bisa dilewati melalui bahasa isyarat. Kita menjadi lebih mengapresiasi bagaimana cara berkomunikasi, bagaimana cara menikmati anugrah berupa pendengaran baik-baik saja yang diberikan Tuhan.

Dan karena ketiadaan social currency yang biasa kita dapatkan sehari-hari, gue dan beberapa teman yang mengunjungi kafe tersebut pertama kalinya pun mendapat sambutan hangat. Kita diajarin caranya memperkenalkan diri, cara berterima kasih, cara berinteraksi. Kesalahan dan kebingungan pun ditoleransi, wajar, baru pertama kali soalnya. :))

Tidak ada tatapan sinis yang kadang kita dapatkan tiap kali kita mengunjungi tempat baru dan kebingungan. Tidak ada orang-orang yang takut perbincangan mereka diketahui orang lain. Orang-orang terfokus pada orang-orang yang berada di depan mereka. Mereka fokus pada perbincangan masing-masing.

Kita berempat juga dihargai karena kita ingin mempelajari dan menghormati mereka. Ada tawa dan senyum yang hangat yang selalu siap menyambut mereka yang menghormati mereka, menikmati kopi buatan mereka dan tidak memperlakukan mereka layaknya orang-orang dengan keanehan atau penyakit.

In the end of the day, we all human. Social and society make things more complicated.

Gue pun belajar bahwa Silence selalu menjadi emas dibanding bersuara tanpa isi, bukan berarti benar, silence salah jika ada penindasan dan kita diamkan. Tapi, untuk diam dan menghargai lebih, itu sesuatu yang sulit dilakukan.

Dan silence, diam memiliki banyak arti, diam merupakan kata yang ambigu dan penuh interpretasi, diam bisa menjadi apa saja, diam bisa berarti senang atau sedih, bahagia atau terpuruk.

Orang-orang bisa saja diam dan sebenarnya sedang berkontemplasi tentang hal-hal terberat dalam hidupnya. Bisa saja diam dan sebenarnya sedang berpikir tentang hal-hal imajinatif dalam kepalanya. Bisa saja diam dan sedang bekerja keras untuk mencapai suatu target dalam otaknya. Bisa saja diam dan sedang menikmati setiap embusan nafas. Bisa saja diam dan sedang mendapat 'panggilan alam'. Atau bisa saja diam, dan hanya diam.

Diam hanya bisa kita pandangi sebagai satu kata abu-abu yang tak pernah kita betul pahami apa artinya.




semestaperfeksionis.
The Captivating and Decapatitating Beauty of Silence.

No comments:

Post a Comment