Tuesday, July 17, 2018

Kereta Senja.

Kereta Senja.
Oleh : Kanzia Rahman


Sore itu kelabu seperti biasa dan stasiun sedang ramai, diramaikan oleh perasaanku sendiri. Sore itu kelabu seperti biasa dan awan malas berkumpul sebab sebentar lagi malam dan mereka takkan tampak oleh apapun kecuali langit sedang cerah.

Terdengar bunyi khas peron kereta akan berangkat dan kita memandang sejenak sebelum saling meninggalkan. Kita telah menghitung hari jauh sebelum hari ini dan hari ini tetap tak bisa kita hindari, kau mengenakan gaun yang sangat cantik dan aku benci untuk mengatakan bahwa aku tak ingin kau tinggalkan.


Sepi menyesakkan gendang telingaku sebab satu-satunya yang kudengar adalah denging bising panjang yang menyakitkan, suaramu adalah lorong panjang tempat aku hilang dan tersesat dan pikiranku menjadi labirin yang tak mampu aku uraikan.

Atau mungkin suaramu sebenarnya adalah bunyi gemuruh menjelang gerimis yang mendatangkan musim hujan lebih cepat di mataku.

Mataku menangkapmu jauh lebih cepat dari tanganku yang membeku di tempatnya. Jemarimu meraih apapun yang kita sebut sebagai koper dan pintu kereta terbuka di hadapan kita. Kau kembali menatap dan melangkahkan kakimu keluar dari jangkauanku, jauh dan lama.

Pintu otomatis menutup dan kau tersenyum sekali lagi,
senyuman
yang
membunuh
aku
di tempat...

Maka aku segera menjadi pecundang yang menyadari ketidakmampuanku dalam melakukan apapun untuk menahanmu, rasanya hari kemarin begitu cepat dan tak ada jam yang bisa menghitungnya.

Pagi masih menjadi pagi, siang tiba terlalu cepat, sore mendadak mendapat pemotongan jatah waktu oleh Tuhan dan malam tergesa-gesa. Aku berlari dari hari kemarin seperti tak ada hari ini dan berlari dari hari ini seperti tak ada hari esok.

Lampu bohlam di jalan-jalan kota seperti meredup dan tak akan ada yang mau menggantinya. Dini hari akan segera tiba dan aku masih menghindari hari esok seperti kau menghindari kecoa yang suka tiba-tiba melewati ruang tamumu; tak ingin ada.

Kereta berangkat dan memulai mengukur jarak di antara kita. Semakin jauh dan aku benci untuk sadar bahwa kau pun ada di dalamnya.

Tak ada angin dan aku memandang pada gerbong demi gerbong kereta yang berlalu satu persatu. Aku diam tapi seolah berlari dan aku berlari seolah aku sedang diam. Ada kebingungan yang tak ingin aku uraikan dan ingin aku biarkan menetap; agar suatu saat kupanen sebagai kebahagiaan.

Sayangnya, aku benci pada ketidakpastian dan aku menunggang detik demi detik seperti seekor kedelai dengan kelebihan beban; lambat.

Aku tak pernah sedekat ini pada kejauhan;
aku tak pernah sedekat ini pada jarak yang segera membentang;
pada kerinduan yang entah tumbuh dari mana;
pada kekalahan dalam pertarungan yang tak bisa kumenangkan;
pada apapun yang memisahkan kita;
kecuali;
sedekat ini pada kereta yang membawamu pergi...
.
.
.
untuk kembali. ?


—semestaperfeksionis.

No comments:

Post a Comment