Parafrase Logika. (Trilogi Sepotong Kenangan dalam Hujan)
Oleh : Kanzia Rahman
Oleh : Kanzia Rahman
"Selamat, Dimitri." Seseorang menepuk bahuku hangat, merangkulku. Ia adalah Pak Bambang, supervisor timku yang bekerja sebagai editor dalam majalah flora-fauna di Indonesia. "Puisi-puisi yang kamu bacakan semalam berhasil menggalang dana hingga puluhan juta rupiah untuk konservasi alam di daerah terluar Indonesia. Selamat." Katanya sekali lagi, kini sambil menjabat tanganku.
"Puluhan juta?" Tanyaku setengah tak percaya. "Serius. Kebanyakan yang datang semalam adalah pemilik perusahaan-perusahaan besar yang bergerak dalam bidang lingkungan. Pemerintah menyumbang setengah dari hasil donasi kemarin. Mereka setuju untuk timmu mengeksplor lagi keragaman fauna di luar pulau Jawa." Ucapnya lagi, "Aku harus bergegas, sekali lagi, selamat, Dimitri." Supervisor berkumis lebat itu lalu berjalan mengikuti lorong, lalu punggungnya hilang saat pintu lift di ujung koridor menutup.
Kedatanganku ke kantor yang sebenarnya pagi ini hanyalah untuk meletakkan namaku dalam absen hari ini, lalu pulang. Beristirahat. Lelah benar-benar menghantamku hingga aku tertidur di sofa apartemen dengan kemeja yang kukenakan di acara penggalangan dana semalam. Jadi, aku tidak berpikir untuk melanjutkan pekerjaan hari ini.
"Dim" Hapeku bergetar seraya aku absen, seseorang menghubungiku lewat LINE, "Bisa bantu aku nanti sore?" Ia adalah Anastasia Claudia, teman satu jurusan Anggun. "Dimana?" Tanyaku, "Di rumah" Jawabnya. Terkadang memang pertanyaan tak butuh jawaban, atau jawaban tak dibutuhkan pertanyaan.
"Maksudku, dimana aku membantumu?" Tanyaku, "Cafe sebelah toko buku di sebelah apartemenmu. Jam 4 sore. Bagaimana?" Tanyanya balik, "Oke." Jawabku pendek. Aku lalu mencari nama Anggun dalam daftar chat, belum dibalas, ia memang sedang sibuk dengan praktek-prakteknya beberapa hari ini.
---------------------------------------------------------
Motorku melaju diantara padatnya mobil di jalan protokol kota, meliuk-liuk, sesekali berhenti. Lalu pada akhirnya benar-benar berhenti di depan sebuah cafe kopi yang terletak di sebelah toko buku terbesar di kota ini. Aku turun, memesan ice blend cappucino, lalu duduk di ujung ruangan, dan membuka laptopku.
"Tugas, tugas dan tugas.." lirihku sambil membuka file word yang baru saja ku edit di kantor tadi siang. Aku rupanya lebih cepat 10 menit dari waktu pertemuan.
Aku lalu membuka handphoneku, memberi kabar dan menanyakan kabar pada seorang gadis bernama Annisa Anggun Salsabila di seberang sana yang belum menjawab pesanku. Baiklah, hari ini dia sibuk dan lelah, pikirku.
Ketika baris terakhir dari lagu Garis Terdepan milik Fiersa Besari dinyanyikan, Anastasia datang. "Maaf terlambat" ucapnya. Hijabnya tak mampu menutupi wajahnya yang lelah, kacamata berbentuk oval yang mengikuti bentuk matanya masih tersangkut diantara kulit dan kain kerudungnya, sebuah map berwarna biru muda transparan berisi setumpuk kertas dirangkul di tangan kanannya.
"Jadi, ada apa?" tanyaku to the point, "Baiklah, aku butuh beberapa artikelmu untuk tugasku." "Kedokteran?" Aku menaikkan alis, bingung." Anastasia lalu menjelaskan sedikit banyak hubungannya, aku mengangguk.
"Anastasia, ada praktek apa saja hari ini?" Tanyaku di sela kesibukan, jemariku sedang memilah mana saja artikel yang kira-kira cocok dengan kebutuhannya. "Kau pasti ingin menanyakan Anggun ya? Semua praktek sudah selesai" Jawabnya sedikit melirikku. Aku tak menjawab. Lagu Nadir kini mengalun di lantai 2 cafe itu.
"Kau sudah sejauh apa dengannya?" Kini giliran Anastasia yang bertanya, "Maksudmu?" Aku melirik, "Aku dua-tiga kali melihatmu menjemput dan mengantarnya, tak mungkin tak ada apa-apa kan?" Pertanyaannya mendapatiku kaku.
"Kau sudah mendapat keberanian untuk menembaknya?" Anastasia kembali bertanya, "Perlukah aku menjawab?" Aku kini kembali bertanya. "Kau dan Anggun tak jauh berbeda, selalu bertanya balik jika ditanya." Suaranya berhenti sebentar, "Aku temannya, aku berhak tau apakah kau serius atau hanya mempermainkannya."
"Aku serius, Anastasia. Tapi keadaan yang memaksaku untuk sedikit bersabar." Jawabku, mengalihkan perhatian dari layar laptop 15,6 inch di hadapanku. "Bersabar gimana?" Ia kini penasaran.
"Anggun adalah tipe-tipe orang yang setiap orang berlomba-lomba mendapatkan perhatian dan merebut hatinya, dan dia adalah orang yang sangat selektif untuk membiarkan satu orangpun memiliki perhatiannya. Dan aku tahu, tidak hanya aku yang sedang berlomba untuk merebut hatinya." Jawabku.
"Jadi, kau serius atau bagaimana? Kudengar seseorang telah mendapatkan perhatiannya, satu langkah lagi untuk merebut hatinya." Ucapnya kemudian. "Aku sudah tahu soal itu juga, aku tahu bahwa satu orang telah mendapatkan perhatiannya, mengubah malam-malamnya menjadi penantian terhadap balas chatnya, mencuri pikirannya sebelum ia tertidur dan setelah ia bangun tidur." Aku lalu membuang nafas.
"Entahlah, aku bingung. Menurutmu aku harus apa? Tetap begini atau..?" Tanyaku. "Berikan aku pilihan." Anastasia meminta. "Baiklah, maju atau mundur?" tanyaku singkat. Dia terdiam, berpikir sebentar.
"Mundur." Ucap Anastasia, "Tapi tetap saja, itu semua terserahmu." Lanjutnya lagi seraya satu piring roti bakar miliknya datang. Aku mengangguk. "Menurutku, seseorang itu sudah mencuri hatinya." Anastasia menutup. Keheningan menyelip diantara bibir-bibir yang sedang berbicara di seluruh penjuru lantai 2 cafe ini.
"Ia sering membicarakan pria yang chatnya tadi kau bilang mengubah malam-malamnya menjadi penantian panjang. Ia juga sering update mengenai pria itu. Aku pikir ia telah terpikat oleh seseorang yang namanyapun aku tak tahu. Entahlah, bagiku mereka hanya tinggal menunggu waktu." Anastasia kembali berbicara, "Kau bisa berpikir sendiri, aku hanya menjawab pertanyaanmu. Maaf, Dimitri." Dia lalu bungkam.
Seperempat jam berlalu, aku lalu menyerahkan flashdisk ke tangan Anastasia.
Gadis itu bergegas pulang, melangkah dengan langkah lelah, bahasa tubuhnya menunjukkan bahwa ia, dengan sangat, ingin menghempaskan tubuh ke kasur kamarnya. Sementara aku, duduk di cafe itu untuk sebentar lagi, memesan satu gelas cappucino, mencoba mengais logika yang telah kuhamburkan di penjuru semesta.
Berlatarkan pelataran senja, aku mengutuk diriku atas segala keangkuhan pada fakta yang seringkali kusembunyikan di sudut ruang semesta, kemungkinan yang tidak pernah aku pikir ternyata memungkinkan.
Di kolong langit ini, seseorang baru saja mengingatkanku tentang kemungkinan itu, seseorang baru saja menyadarkanku bahwa ada kemungkinan yang tidak pernah aku semogakan, seseorang baru saja memberikanku tanda untuk segera melepaskan.
Di kolong langit ini, logika sedang terbalik, duniaku terbalik, semesta berputar hebat. Turbulensi.
Aku harus berusaha melupakan. Melupakan senyummu yang merupa senja yang kunikmati di tiap tawamu. Melupakan suaramu yang mengiang-ngiang dan menggema di antara dinding-dinding penantian. Melupakan indah matamu, yang meriak di antara sela-sela keheningan.
Aku sebenarnya tahu bahwa hatiku telah payah untuk mengejar dia yang berlarian tanpa kenal lelah, aku sebenarnya paham bahwa nafasku sudah terengah-engah, aku sebenarnya mengerti bahwa perasaan, kadang terlalu mulia untuk disia-siakan.
"Anggun. Kita harus bertemu." Ucapku malam itu juga. Aku lelah, aku harus memutuskan sekarang.
-------------------------------------------------------------------
Dua hari berturut-turut aku resmi mengunjungi cafe itu. Kini dalam tampilan lebih informal. Aku menjemput Anggun, memesan dua gelas Frappucino dengan sedikit candaan dari waiter cafe tersebut, "Loh, Mas? Asik ya cafenya jadi kesini terus hahaha" yang kubalas dengan sedikit tawa.
Kami duduk berhadapan, dan aku mengharapkan jawaban itu sekarang.
"Anggun." Panggilku. Sorot mataku tak berhenti menangkap matanya, ia lalu melihat kearahku, menaikkan alis yang berarti "Ada apa?"
"Kamu tahu kan bahwa aku menyukaimu?" Aku membiarkan segala perasaanku pergi, semua takut yang menghinggapi, seluruh resah yang menggerogoti, aku tak peduli, aku butuh jawaban.
"Tidak?" Ia menjawab dengan nada ragu. "Kalau iya, baguslah. Kalau tidak, aku menyukai dan mencintaimu, dan harusnya kamu tahu itu sejak dulu." Ucapku. Kini seisi semesta hanyalah aku, wanita di hadapanku, dan dua gelas Frappucino diantaranya.
"Dan aku pun tahu, ada seorang laki-laki lain yang telah mendapat perhatianmu." Ucapku, ia terdiam. Aku berhenti sejenak, "Jadi, apa aku terlambat untuk memastikanmu dalam suatu hubungan?"
Ia makin terdiam. Diam itu, aku paham. Diam itu, aku paham. Diam itu, aku pastikan jawaban dia adalah "tidak.", tapi dia sedang mencoba menyusun kata yang tepat.
"Baiklah kalau tidak. Aku pikir rasa akan berbalas." Ucapku lalu meminum dua tenggak Frappucino, "Tidak, Dimitri. Bukan begitu.." "Minumlah. Lalu aku antar kamu pulang." Aku memotong ucapannya.
Setengah jam kemudian, aku sudah dalam perjalanan pulang. Mengumpulkan sisa logika yang masih tersisa diantara dunia maya.
Apa itu logika, Anggun? Jika ternyata ia hanya menghancurkan dunia fantasi yang sudah kita buat. Kita? Tidak tidak, aku lebih menyukai kata bersama, tapi bagaimana mungkin aku menyebut kata "bersama" jika kamu memilih pergi?
Apa itu logika? Sesuatu yang kubuang lalu kubiarkan perlahan membusuk di pelataran senja.
Jadi, apa itu logika menurutmu, Anggun? Buah pikiran terbaik saat otak tak lagi ditutupi oleh awan hitam? Atau seberkas cahaya yang dibuat Tuhan untuk mengembalikan manusia pada tempatnya?
Jelaskan padaku, apa arti "adil" dalam sudut pandang logika. Jelaskan apa itu adil jika aku yang selalu ada untukmu namun dia yang kau pilih. Jelaskan apa itu arti adil, jika kamu lebih mendamba dia ketimbang aku yang mendambakanmu. Jelaskan apa itu arti adil, jika aku digerogoti kecewa sementara kamu menaiki bianglala?
Mungkin benar, ketika jatuh cinta, manusia seringkali membuat simpulnya sendiri. Simpul-simpul imaji yang termanifestasi dari pikiran-pikirannya, beberapa tak peduli, tapi beberapa lainnya kadang terlalu peduli. Hingga bukan tidak mungkin, mereka mati oleh simpul buatan mereka.
Kini, tali simpulmu telah mati. Berhentilah.
Entahlah. Malam tak pernah sedingin ini, hujan tak pernah sesakit ini, gemuruh petir tak pernah sederas ini. Ada kehampaan dalam sunyi yang terpampang di angkasa, ada setangkup logika yang sedang tak berdaya dalam diamnya, ada aku yang sedang mematikan segala hasrat untuk membahagikanmu.
Apa itu logika? Setangkup fakta yang hadir dalam realita. Sebab itu aku ingin membuangnya, menebarkannya jauh-jauh. Karena dengan logika, simpul-simpulku kelak tak lagi bertautan.
Hujan deras lalu menebal di jalanan, mungkin, air hujan pun tahu, bahwa malam ini, bukan hanya ia yang berjatuhan dari tempatnya..
..
.
.
.
.
.
...
No comments:
Post a Comment