Pada suatu titik di masa kehidupan, kita tak lagi saling bertatapan. Mata kita berhenti bertautan, tangan kita berhenti berpegangan dan langkah kaki kita tak lagi beriringan. Kita berhenti dan memeriksa entah apa yang salah diantara kita.
Kau berkata bahwa tak ada yang salah dari dirimu dan aku sepakat tak ada yang salah selain kata "kita", sebab kata tersebut sudah kehilangan maknanya diantara dirimu dan diriku. Aku berhenti merasakannya dan kaupun juga.
Kita, maksudku, kau dan aku, lalu saling meminta maaf atas segala kesalahan—persis seperti saat hari lebaran saat aku berkunjung dan memakani kue nastar di rumahmu— yang pernah kau dan aku lakukan, berterima kasih karena telah ada untuk waktu-waktu tersulit, segala kenangan dan apapun yang pernah kau dan aku kerjakan secara bersama-sama.
Aku telah menyimpan barang-barang pemberianmu dan kaupun mengembalikan barang-barang yang kuberikan, kita sepakat untuk tidak berjalan bersama lagi, kita sepakat untuk tidak beriringan lagi sebab sejak itu, aku percaya kau kelak menemukan cara bahagiamu tanpaku dan akupun juga sama.
Tak ada lagi tawa ataupun canda yang biasa kita bagi saat melepas lelah atau cerita-cerita menyenangkan maupun menyedihkan tentang hari-hari kita. Perbincangan-perbincangan akan merindukan kau dan aku untuk kembali duduk di meja yang sama, lalu berbicara panjang hingga orang-orang serupa angin lewat yang silih berganti.
Tak ada hari esok atau aku yang tak tahu jika bahkan hari esok itu ada. Kau menjelma hantu yang keberadaannya samar-samar di ingatanku. Aku tak ingin mengingatmu tapi orang-orang tetap percaya bahwa kau ada, aku tak ingin kau ada tapi kau menghadiri kepalaku lebih sering dari dulu dan sama seperti orang-orang yang berdatangan saat kau mulai melupakan; tidak tepat waktu.
Aku mengakhiri pertarungan antara diriku dan ingatanku yang sedang berkencan di beranda sama seperti akhir pertarungan antara manusia melawan lupa; selalu kalah.
Aku melawan kehadiranmu di kepalaku.
Aku penasaran apakah meja yang biasa kita duduki kelak akan berdebu atau dihuni laba-laba atau justru kedatangan dua orang insan lain yang sedang kasmaran. Bagiku, kesenangan hanya jeda antara kesedihan satu dan kesedihan lainnya. Sementara bersenang-senang hanya menunda kepedihan.
Ingatanku berupa ruangan dan kau sedang berkemas di dalamnya, membawa barang-barang yang melekat erat sampai kau sendiri kepayahan mengambilnya. Kau membawa segalanya, tempat tidur, lemari pendingin, pakaian dan dispenser. Aku menahanmu membawa tempat tidur, sebab aku tak akan bisa tidur nanti, kataku. Kau acuh dan membiarkanku tak tidur untuk berapa malam.
Beberapa hal sengaja kau tinggalkan di sudut ruangan sebagai bayanganmu. Agar kau mengingatku sebagai kesedihan dan tak melulu ingat kesenangan, katamu. Kau tahu persis aku menyukai kesedihan. Aku sering berada di sudut ruangan untuk hanya berdiam diri dan memandangi bayanganmu.
Kadang aku melihat mereka membesar dan menciut sesuka mereka.
Aku ingin memastikan kepergianmu. Aku ingin memastikan kau tak lagi ada dalam ingatanku. Aku ingin memastikan kau membawa apapun dan tak kembali, sebelum kau berlari dan aku beranjak, sebelum kau dan aku saling memunggungi, lalu kembali menjadi dua orang asing yang tak saling kenal.
Bagaimana jika kepergian adalah kata lain dari pendewasaan dan kehilangan adalah kata lain dari melepaskan?
—semestaperfeksionis.
No comments:
Post a Comment