Thursday, May 25, 2017

Epilog.

Epilog.
Oleh : Kanzia Rahman

Pada dasarnya, semua hal yang ada di alam semesta ini hanyalah perihal waktu.

Kelahiran, kematian, pertemuan, perpisahan, pertanyaan, jawaban -meski kadang beberapa tanya tak perlu jawab-, dan serentetan kejadian lainnya. Satu hal akan melahirkan hal lainnya. Dan yang dibutuhkan mereka hanyalah waktu. 

Tak perlu terburu-buru, tunggu saja. Semesta akan, terus, dan selalu berkonspirasi yang terbaik untuk dirimu. Yang perlu kamu lakukan hanya duduk, dan biarkan dirimu mengikuti alur simfoni terbaik yang Tuhan telah tuliskan untukmu. 

Segala cerita-cerita terbaik di buku yang berjejer di rak best seller di toko buku? Penulis mereka hanyalah manusia. Jangan iri. Siapa yang menulis takdirmu? Tuhan. Dan percayalah, Tuhan selalu punya rencana.

Tak usah pura-pura tertawa, tak perlu juga berkata "tidak apa-apa", tak perlu mengucapkan "Aku baik-baik saja". Akui saja ketika kamu sedang patah hati, akui saja ketika kamu sedang kecewa, akui saja ketika kamu sedang hampir bahagia. Tak perlu membohongi dirimu sendiri.

Kamu tahu, dirimu kelak lelah akan hal-hal bohong yang kamu beritahu pada dirimu sendiri, dirimu kelak tersiksa atas ekspektasi-ekspektasi yang setinggi angkasa, dirimu kelak hancur ketika kamu sadar bahwa selama ini, -pada dirimu sendiri- kamu tidak jujur.

Akui saja. Patah hati, kecewa, dan bersedih adalah hak segala manusia dari segala bangsa. Biarkan saja, ikuti saja, kelak kamu paham bahwa penyakit-penyakit hati memang dibuat sebagai pelajaran. Jangan dilupakan, karena saat kamu akhirnya telah melupakan, kamu hanya akan merasakan kehampaan.

Mereka juga, adalah kenangan. Kamu bebas untuk menghapusnya, menolaknya, berkelit ribuan kali tiap kali ingatan tentang itu datang. Kamu bisa dengan mudahnya berkata, "Memaafkan itu mudah, melupakan itu susah.". Tentu kamu boleh memaafkan, tapi jika kamu tidak bisa melupakan kenangan, mungkin memang tempatnya ditakdirkan di sana.

Sebagai gantinya, kamu hanya perlu mencari kenangan baru. Maka kamu kelak berubah. Percayalah.

Kamu bebas bercerita. Curhatlah pada mereka yang kamu rasa akan peduli, berceritalah pada semesta di waktu-waktu yang hening. Berkeluh kesahlah, tumpahkanlah, muntahkanlah, buanglah. Biarkan hatimu meledak sekencang-kencangnya, melepaskan segala perasaan yang menyesakkan.

Percayalah, tidak akan ada telinga yang jenuh mendengar ceritamu.

Lalu, kamu perlahan akan bisa melepaskan. Pelan-pelan, tapi pasti. Tidak perlu melawan jika ada arus rindu, tidak perlu menentang jika kamu tersedu. Ikhlaslah pada hal-hal yang kamu pikir kamu tidak akan pernah lepas. Tidak ada hal yang tidak kembali ke rumahnya, kadang, mereka hanya salah arah dan singgah di tempat yang bukan miliknya.

Belajarlah untuk ikhlas atas segala sesuatu yang harus dilepas.

Ah, mungkin kamu akan berkelit soal kebahagiaan.

Kebahagiaan, tak akan pernah pergi. Kebahagiaan, selalu ada disini. Kebahagiaan, ada di sudut-sudut yang kadang berada tepat di depan matamu, tapi kau acuhkan. Kebahagiaan, adalah hal yang terlalu lama kau kejar, hingga kau lupa perihal segala hal yang tertinggal di belakang.

Masih ingat meniup lilin di pesta ulang tahunmu? Atau saat membuka bungkus plastik kadonya? Itu kebahagiaan. Masih ingat saat kamu jatuh sakit dan kedua orang tuamu mengasihimu? Menjadikanmu prioritas, membuatmu tetap bernafas. Itu kebahagiaan.

Kebahagiaan, selalu ada dimanapun. Pada tiap-tiap senyum dan tawa anak-anak yang bermain bersama, pada tiap-tiap pedagang yang laku barang dagangannya terjual habis, pada tiap-tiap orang tua yang melihat anaknya sukses. 

*Maaf, air mataku menetes.*

Pada tiap nafas yang masih bisa kamu hembus, pada alat-alat panca indera yang masih berfungsi dengan baik, pada mata-mata yang masih bisa melihat, pada jantung yang masih berdetak, mengaliri oksigen ke seluruh tubuhmu. Perlahan, kamu paham bahwa kebahagiaan adalah kata ganti dari bersyukur.

Jadi ketika kamu merasa bahwa kamu tidak bahagia, percayalah bahwa kamu hanya menengok kearah yang salah.

Pada akhirnya, kamu akan selalu bisa berjalan lagi, walau langkahmu rapuh, walau harus tersengal-sengal, walau harus terjatuh ribuan kali, walau harus dengan ditopang. Percayalah bahwa kamu tidak sendirian, masih ada banyak orang diluar sana yang tiap memberikan bahu untukmu, bersedia waktunya disita untukmu, bersedia harinya dihabiskan untukmu.

Kamu selalu bisa bangkit. Kamu selalu bisa bangun. Kamu selalu bisa berdiri, lagi dan lagi.

Sebab Tuhan telah menciptamu dengan begitu sempurna. Kamu, pada akhirnya, terlalu agung untuk dikalahkan oleh rasa sakit.

Karena kamu tahu, hidup ini indah, indah sekali, seindah bunga yang sedang merekah. Saat kamu mulai percaya pada ketiadaan dualitas, kamu akan percaya bahwa segala resah, gelisah, gulana dan juga gundah, dibuat untuk membuat dirimu lebih baik dari hari kemarin. Hidup ini indah.

Hidup ini indah. Kamu hanya perlu bersyukur dan bersyukur atas hal-hal yang sering kamu sepelekan, lalu duduk dan berhenti sejenak, nikmati tiap nafas yang sedang kamu hembuskan.

Hidup ini indah. Kamu hanya perlu percaya, bahwa pada akhirnya, segala hal akan kembali pada rumahnya masing-masing. Jari jemarimu akan menemukan genggaman tangan yang tepat, bibirmu akan mengecup kening yang tepat, tubuhmu akan pulang pada dekapan yang tak akan melepaskanmu, sejauh apa pun itu, kamu, akan kembali ke rumahmu.

Jadi, biarkan alam semesta berkonspirasi. Tenang saja, Tuhan selalu punya rencana, kamu, dan semua orang adalah bagian dari simfoni yang Maha Kuasa. Tetaplah sederhana.



Sebelum menutup, aku pikir waktu tiga tahun dan tiga bulan adalah waktu yang panjang. Setelah post ini, kamu -mungkin- tidak akan membaca post-post lainnya dalam kurun waktu yang belum ditentukan.

Benar, aku vakum.

Semoga kelak kita berjumpa lagi, semoga kita bisa bersua lagi.

...
..
.
.
.

-- The End--

Parafrase Logika. (Trilogi Sepotong Kenangan dalam Hujan)

Parafrase Logika. (Trilogi Sepotong Kenangan dalam Hujan)
Oleh : Kanzia Rahman


"Selamat, Dimitri." Seseorang menepuk bahuku hangat, merangkulku. Ia adalah Pak Bambang, supervisor timku yang bekerja sebagai editor dalam majalah flora-fauna di Indonesia. "Puisi-puisi yang kamu bacakan semalam berhasil menggalang dana hingga puluhan juta rupiah untuk konservasi alam di daerah terluar Indonesia. Selamat." Katanya sekali lagi, kini sambil menjabat tanganku.

Monday, May 15, 2017

Sepucuk Surat untuk Penjelajah.

Serius, jangan pernah bertanya seperti ini kepada orang yang -kamu duga- belum move on, "Eh, kamu belum move on ya dari si A/B/C/D/dst ?" Jangan.

Selain cenderung skeptis dan sok tahu, kamu tentu tak tahu seberapa besar usahanya.

Iya. Usaha. Usaha dia untuk menyembuhkan luka, usaha dia untuk memaksakan tertawa, usaha dia untuk pura-pura bahagia, meski dalam lubuk hatinya ia meronta-ronta. Usaha dia untuk menahan air mata, saat mengetahui bahwa yang dicintainya sudah tak lagi berada disana.

Usaha dia untuk melawan badai kenangan yang tiap kali menerpa ingatan, menyingkirkan memori indah yang seringkali menghampiri saat sendiri. Usaha dia untuk menghapus suara yang dicintainya yang mengiang-ngiang di antara dinding penantian, usaha dia untuk mencoba melupakan, menganggap semua bukanlah kenyataan.

Usaha dia untuk mematahkan rasa tiap kali bertatap mata, usaha dia untuk tidak menyapa meski pernah seerat alkena, menahan diri walau hati tercabik-cabik sepi. Usaha dia untuk memaksakan pergi, walau seluruh semestanya bernada elegi.

Semua usaha itu. Kamu tentu tidak tahu, kan?

Dia melakukannya sendirian. Sendiri. Satu. Tunggal. Mungkin hanya satu-dua bercerita pada teman, tapi kamu harus tahu dan paham, bahwa banyak sekali diantara kita yang seperti ini. Yang disenyumi sekali -oleh yang meninggalkan mereka-, hancur seluruh usahanya.

Socrates pernah berkata, "Rahasia untuk berubah adalah menyalurkan seluruh energimu, bukan untuk melawan yang lama, tapi untuk membangun yang baru."

Selanjutnya untuk kamu, orang-orang yang sulit 'berpindah'.

Jika ada arus rindu yang menerpa, maka ikutilah, jangan dilawan, tapi juga jangan terbawa. Ikuti, bukan pasrah lalu bunuh diri. Jika dingin dan sepi menghinggapi, bertahanlah. Kuatkan dirimu, lalu hangatkan dirimu sendiri.

Percayalah, aku pernah berada disana. Kita semua pernah berada disana.

Sampai nanti suatu saat Tuhan mengatakan bahwa waktunya untukmu berpindah, maka melangkahlah.

Bergeraklah, mampirlah dalam setiap ruang-ruang penasaran dari bilik-bilik keramaian. Masuklah, habiskan rasa penasaran sebelum kamu melanjutkan perjalanan. Mencarilah, meski terkadang hanya kecewa yang kau temui. Temuilah. Lihat, jutaan manusia dan bagimu hanya senyum si pengkhianat itu yang masih kamu idam-idamkan? Lupakanlah.

Sadarlah, hatimu sudah terengah-engah dan tersengal-sengal dalam penantian atas apa yang tak kunjung kembali. Sudah saatnya menyayangi hatimu sendiri.

Berputar-putarlah, jangan sampai kamu melewatkan hal-hal kecil yang justru tersembunyi di depan punggungmu. Pahamilah, karakteristik demi karakteristik tiap manusia yang kamu lewatkan hanya karena memikirkan sikapnya yang justru membuatmu jatuh sakit. Teruskanlah.

Hilanglah, bersikap ramahlah pada tiap-tiap keramaian yang selama ini kau hindari. Hilanglah, bawa rasa-rasa keingintahuan yang tersembunyi di dalam sudut patah hati ke tempat-tempat yang tak pernah kau hampiri.

Pergilah. Melangkahlah. Ucapkan selamat tinggal kepada sudut sepi di ruang kenangan. Karena tanpa kamu sadari, detik inipun seisi alam semesta sedang berkonspirasi untuk menulis buku takdir terbaik untukmu.

Ingat, Tuhan tidak pernah bermain dadu.

Lalu jika nanti kamu mencari tapi tak kunjung menemukan..

Maka berhentilah,

Berhenti.

Mungkin; kamu perlu ditemukan.